10 September 2008

Wanatani berbasis Tanaman Karet Klonal “Langkah menuju Intensifikasi Lahan”

Deskripsi Wanatani
Wanatani berasal dari kata agroforesty yang diadopsi dari bahasa asing. Sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang definisi wanatani. Hampir setiap ahli mengusulkan definisi yang berbeda satu dari yang lain. Dalam jurnal "Agroforestry Systems" Volume 1 No.1, halaman 7-12 Tahun 1982 ditampilkan tidak kurang dari 12 definisi tentang agroforestri atau wanatani (Hairiah dkk, 2003). Benang merah yang dapat ditarik dari pelbagai defenisi tersebut, yakni memaknai agroforest/wanatani secara harfiah, agro/tani(=pertanian) dan forest/wana(=hutan). Dari dua suku kata tadi terangkai sebuah makna yang bisa mendefenisikan agroforestri/wanatani sebagai suatu sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Sehingga tercipta keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan yang berfungsi dalam mengurangi risiko kegagalan dan melindungi tanah dari erosi serta mengurangi kebutuhan pupuk atau zat hara dari luar kebun karena adanya daur-ulang sisa tanaman (Ruijter dan Agus, 2004).
Secara tradisional, praktek wanatani telah berkembang di seluruh penjuru nusantara yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai wujud kearifan lokal dalam menjaga hutan di sekitar mereka. Pengembangan wanatani secara tradisional dikemas dalam konsep kebun campuran, tegalan berpohon, ladang, lahan bera (belukar), kebun pekarangan, hingga hutan-hutan tanaman rakyat yang lebih kaya jenis seperti yang dikenal dalam rupa talun di Jawa Barat, repong di Lampung Barat, parak di Sumatra Barat, tembawang (tiwmawakng) di Kalimantan Barat, simpung (simpukng) di Kalimantan Timur, kebun karet campur di Jambi dan lain-lain bentuk di berbagai daerah di Indonesia (de Foresta dkk, 2000).
Menurut de Forestra dkk tahun 2000 mengatakan bahwa praktek wanatani yang disebutkan diatas, dapat digolongkan dalam dua bentuk, yakni :
1. Wanatani sederhana
Wanatani sederhana terdiri dari sejumlah kecil unsur penyusun sistem: satu atau dua jenis pohon bercampur dengan satu atau beberapa jenis tanaman pertanian. Campuran Karet dengan tanaman semusim seperti ubi kayu, padi atau tanaman semusim lainnya. Pola-pola sederhana ini kerap dipraktekkan petani untuk memaksimalkan hasil.
2. Wanatani kompleks
Wanatani kompleks (complex agroforestry systems) atau wanatani sejati merupakan perpaduan rumit pelbagai unsur wanatani di atas, yang pada gilirannya juga memberikan aneka hasil atau manfaat pada rentang waktu dan interaksi yang tidak terbatas. Pada akhirnya, wanatani ini memiliki struktur dan dinamika ekosistem yang mirip dengan hutan alam, dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang relatif tinggi. Seperti kombinasi antara tanaman Karet dengan Petai, Jengkol, Durian, Duku, yang dilakukan dalam satu lahan.
Wanatani kompleks merupakan perkembangan lanjut dari wanatani sederhana, meski kebanyakan pola wanatani sederhana yang telah mantap tidak selalu bertumbuh terus menjadi sistem yang lebih rumit. Selain ditentukan oleh kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan, tidak berkembangnya wanatani sederhana menjadi kompleks kemungkinan besar juga ditentukan oleh iklim dan kondisi tanah setempat. Budaya wanatani kompleks sejauh ini berkembang di daerah-daerah yang semula merupakan hutan hujan tropika yang memiliki struktur mirip. Hampir selalu, wanatani kompleks berawal dari ladang yang diperkaya. Sistem perladangan biasanya dimulai dengan membuka hutan primer atau hutan sekunder, menebangi dan membakar kayu-kayunya, dan menanaminya dengan tanaman pangan atau sayur mayur selama satu atau dua daur.
Ragam fungsi wanatani :
Menurut Widianto dkk, 2004 menguraikan bahwa agroforestri memiliki banyak fungsi, yakni :
1. Fungsi ekonomi
Wanatani akan menghasilkan jenis produk, waktu untuk memperoleh produk dan orientasi penggunaan produk lebih beragam. Keragaman jenis produk dan waktu panen memungkinkan penggunaan produk yang sangat beragam pula. Kondisi ini sangat membantu petani dalam menunjang perekonomian rumah tangga mereka dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur yang hanya bergantung pada satu komoditi saja.
2. Fungsi konservasi
Selain berfungsi ekonomi, sistem wanatani juga berfungsi konservasi. Karena pada sistem wanatani akan ditemui beragam jenis tanaman dalam satu luasan lahan sehingga tercipta interaksi ekologis dalam suatu ekosistem. Beberapa fungsi konservasi sistem wanatani, antara lain:
(a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah,
Sistem wanatani mampu mempertahankan sifat-sifat fisik tanah melalui :
Seresah yang dihasilkan sehingga bisa menambahkan bahan organik tanah
Sistem wanatani dapat mempertahankan kandungan bahan organik tanah di lapisan atas melalui pelapukan seresah yang jatuh ke permukaan tanah sepanjang tahun. Pemangkasan tajuk pepohonan secara berkala yang di tambahkan ke permukaan tanah juga mempertahankan atau menambah kandungan bahan organik tanah. Kondisi demikian dapat memperbaiki struktur dan porositas tanah serta lebih lanjut dapat meningkatkan laju infiltrasi dan kapasitas menahan air.
Meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran
Sistem wanatani pada umumnya memiliki kanopi yang menutupi sebagian atau seluruh permukaan tanah dan sebagian akan melapuk secara bertahap. Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan penutupan tajuk pepohonan menyebabkan kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab, temperatur dan intensitas cahaya lebih rendah. Kondisi iklim mikro yang sedemikian ini sangat sesuai untuk perkembangbiakan dan kegiatan organisme. Kegiatan organisme makro dan mikro berpengaruh terhadap terbentuknya pori makro (biopores) dan pemantapan agregat. Peningkatan jumlah pori makro dan kemantapan agregat pada gilirannya akan meningkatkan kapasitas
infiltrasi dan sifat aerasi tanah.
Mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran
Adanya tajuk tanaman dan pepohonan yang relatif rapat sepanjang tahun menyebabkan sebagian besar air hujan yang jatuh tidak langsung ke permukaan tanah sehingga tanah terlindung dari pukulan air yang bisa memecahkan dan menghancurkan agregat menjadi partikel-partikel yang mudah hanyut oleh aliran air.
(b) mempertahankan fungsi hidrologi,
Hidrologi berhubungan dengan tata air dan aliran air dalam suatu kawasan, misalnya hujan, penguapan, sungai, simpanan air tanah, dan sebagainya. Satuan kawasan yang sering dipergunakan untuk analisis hidrologi adalah DAS atau daerah aliran sungai (watershed, catchment). DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas ketinggian atau topografi di mana air hujan yang jatuh di dalamnya mengalir ke sungai-sungai kecil menuju ke sungai lebih besar, hingga ke sungai utama dan akhirnya bermuara di laut atau danau.
Gangguan fungsi hidrologi biasanya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak memenuhi kaedah-kaedah konservasi di daerah hulu, seperti penggundulan hutan akibat penebangan liar, sistem pertanian monokultur, penambangan dan lain sebagainya. Sehingga berdampak pada rusaknya daerah tangkapan air (catchment area) di hulu sungai. Salah satu jawaban dalam mengatasi persoalan itu adalah praktek pertanian yang ramah lingkungan melalui sistem wanatani. Dengan berkembangnya sistem petanian wanatani di daerah hulu maka akan dapat mempertahankan sistem hidrologi. Karena sistem pertanian wanatani memiliki sistem tajuk tanaman dan pepohonan yang relatif rapat sepanjang tahun menyebabkan sebagian besar air hujan yang jatuh tidak langsung ke permukaan tanah sehingga tanah terlindung dari pukulan air yang bisa memecahkan dan menghancurkan agregat menjadi partikel-partikel yang mudah hanyut oleh aliran air.
(c) mengurangi gas rumah kaca dan mempertahankan cadangan karbon
Gas rumah kaca (GKR) adalah gas-gas di atmosfer yang dapat menimbulkan perubahan dalam kesetimbangan radiasi sehingga mempengaruhi suhu atmosfer bumi. Karbon dioksida (CO2) adalah GRK utama yang paling besar jumlahnya yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dengan laju emisi yang sangat besar, maka gas ini sering dipakai sebagai standar atau acuan bagi perubahan komposisi atmosfer dan perubahan iklim global. Konsentrasi GRK semakin meningkat dengan makin meningkatnya kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga listrik, transportasi, industri serta kegiatan yang berhubungan dengan alih-guna lahan untuk penyediaan lahan baru bagi pertanian (termasuk perkebunan) dan pemukiman.
Upaya meningkatkan cadangan C di alam secara vegetatif (misalnya dengan memperbanyak penanaman pepohonan) merupakan pelayanan terhadap lingkungan yang diharapkan dapat mengurangi dampak rumah kaca. Dalam pertumbuhannya, tanaman menyelenggarakan proses fotosintesis yang memerlukan sinar matahari, CO2 dari udara, air dan hara dari dalam tanah.
(e) mempertahankan keanekaragaman hayati.
Sistem pertanian wanatani memang tidak persis sama dengan hutan.. Sehingga keanekaragaman hayati yang ditemui pada sistem pertanian wanatani tidak akan persis sama dengan keanekaragaman hayati pada hutan. Tetapi bila dibandingkan dengan sistem pertanian yang intensif, maka kita akan lebih optimistik karena Wanatani meningkatkan keanekaragaman hayati. Seandainya tidak ada wanatani mungkin telah banyak spesies yang punah.
Pada wanatani dijumpai jenis tanaman 30% lebih rendah, dan untuk jenis burung sekitar 50% lebih rendah daripada yang dijumpai di hutan (Van Schaick dan Van Noordwijk, 2002).
3. Fungsi sosial-budaya
Sistem wanatani sudah sejak lama dikembangkan secara tradisional oleh masyarakat Indonesia. Dan secara turun menurun sistem ini selalu dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Sehingga sistem pertanian wanatani sudah menjadi suatu kebiasaan yang berlangsung secara terus menerus. Terkadang sistem ini sudah diatur melalui adat istiadat di suatu wilayah adat.
Beberapa aspek sosial-budaya yang langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh wanatani adalah:
a. wanatani dalam kaitannya dengan aspek tenurial
Tanah merupakan aspek penting dalam berbudidaya pertanian. Dewasa ini, konflik perebutan tanah menjadi konflik hangat berkembang dimana-mana, baik yang terjadi diantara masyarakat (horizontal) maupun yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan ataupun pemerintah (vertikal). Kondisi ini didasari oleh semakin terbatasnya ketersediaan tanah untuk dijadikan lahan pertanian. Sehingga perebutan terhadap tanah makin kental terasa.
Dalam kaitannya dengan aspek tenurial ini, wanatani juga memiliki potensi di masa kini dan masa depan sebagai solusi dalam memecahkan konflik menyangkut tanah. Karena yang dikembangkan pada sistem wanatani adalah pertanian yang intensif dengan melakukan peragaman komoditi pertanian dalam satu lahan. Begitu juga yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan, wanatani juga bisa dijadilkan alternatif pemecahan konflik perebutan lahan. Apalagi dengan telah diudangkannya peraturan pemerintah No. 6 tahun 2007 yang mengatur mengenai tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan. Dimana masyarakat sekitar kawasan hutan produksi, hutan lindung bahkan hutan konservasi diberi peluang untuk memanfaatkan kawasan melalui sistem pertanian wanatani.
b. wanatani dalam upaya melestarikan identitas kultural masyarakat
Hutan dan terutama pohon-pohonan memiliki keterkaitan erat dengan identitas kultural masyarakat, seperti sangat butuhnya orang rimba terhadap keberadaan hutan sebagai kawasan hidup mereka. Hal ini dibuktikan dengan sikap orang rimba yang masih protektif terhadap hutan. Karena hutan/rimba merupakan bagian dari kultur orang rimba dan penunjuk identitas mereka sebagai orang yang tinggal di rimba.
Upaya orang rimba dalam melakukan proteksi terhadap rimba mereke dari ancaman dari berbagai pihak terwujud dalam konsep Hompongon. Hompongon dimaknai sebagai kebun karet dengan sistem pertanian wanatani yang dijadikan sebagai penghambat laju pembukaan lahan yang dilakukan oleh pihak luar. Hompongan berlaku efektif walaupun masih banyak kekurangannya. Karena masyarakat Melayu Jambi menggunakan konsep penghulu ladang dalam pengaturan pembukaan lahan baru (vegetasi hutan). Penghulu ladang dimaksudkan sebagai areal pencadangan bagi orang yang telah membuka paling ujung dan orang lain tidak boleh melangkahi areal yang telah dibuka tadi.
c. wanatani dalam pelestarian pengetahuan tradisional
Aspek pengetahuan tradisional amatlah penting dalam wanatani, karena memang sistem penggunaan lahan ini berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesian yang sebagian besar merupakan komunitas tradisional. Akan tetapi dalam kesempatan ini hanya akan ditampilkan satu contoh peran wanatani terkait dengan pelestarian pengetahuan tradisional mengenai pengobatan Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ciri dari wanatani tradisional adalah diversitas komponen terutama hayati yang tinggi (polyculture). Sebagian dari tanaman tersebut sengaja ditanam atau dipelihara dari permudaan alam guna memperoleh manfaat dari beberapa bagian tanaman sebagai bahan baku pengobatan.

Wanatani berbasis karet di Jambi
Propinsi Jambi adalah penghasil getah karet terbesar di Indonesia setelah Sumatra Selatan. Dengan luasan 429.335 ha (98% nya adalah karet rakyat) dan menghasilkan 185.196 ton/tahun (95% nya adalah dihasilkan oleh karet rakyat). Dalam pembukaan kebun karet baru, petani karet di Propinsi Jambi melakukannya melalui sistem tebas-tebang-bakar secara tradisional baik dari hutan sekunder maupun hutan karet tua. Tanaman karet asal seedling/biji sapuan ditanam secara tidak beraturan dengan kerapatan tinggi. Dua sampai tiga tahun pertama biasanya tanaman karet ditumpangsarikan dengan tanaman pangan, seperti Padi, Ubi kayu, Jagung, Kacang-kacangan dan sayur mayur. Sehingga pada masa ini perawatan dilakukan secara intensif. Setelah lewat masa tiga tahun, perawatan dilakukan sangat minimal. Terkadang tanpa pemupukan sehingga berbagai vegetasi bekas hutan sekunder tumbuh secara alami bersamaan dengan tanaman karet. Kondisi demikian menyebabkan pola kebun karet menyerupai hutan dengan dominasi tanaman karet atau wanatani berbasis tanaman karet (Wibawa dkk, 2006).
Pengembangan Wanatani Berbasis Karet di beberapa desa penyangga TNBD

Kemiskinan versus pelestariaan TNBD
Center for Economic and Social Studies (CESS, 2005), yang memperlihatkan bahwa persentase rumah tangga miskin per desa yang terletak di dalam dan sekitar hutan, ternyata lebih besar angkanya dibandingkan dengan rumah tangga miskin yang tinggal di desa luar hutan. Sebelumnya Brown (NRM-III, 2004) menyebutkan bahwa sebanyak 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta diantaranya adalah kaum miskin. Jika dikaitkan dengan jumlah keseluruhan penduduk miskin Indonesia yang tinggal di pedesaan (14,6 juta penduduk pada tahun 2004), maka jumlah kaum miskin yang tinggal di lingkungan hutan adalah hampir mencapai sepertiga dari keseluruhan kaum miskin di Indonesia (RENTAN No. 01/12/2005). Data tersebut menunjukan bahwa ketersediaan sumberdaya alam belum menjaminkan kesejahteraan masyarakat di sekitar sumberdaya itu berada. Data tersebut juga bisa memberikan gambaran tentang kemiskinan masyarakat disekitar kawasan Taman Nasinal Bukit Duabelas (TNBD). Walaupun sampai saat ini belum ada data kuantitatif yang menunjukan tentang jumlah masyarakat miskin di sekitar kawasan TNBD. Namun dari data studi sosial ekonomi dan pemanfaatan ruang desa penyangga TNBD yang telah dilakukan di beberapa desa penyangga (Hajran, Jelutih, Sungai Ruan, Padang Kelapo Kabupaten Batanghari, Tuo Ilir, Tambun Arang Kabupaten Tebo) menunjukan bahwa 69,23% masyarakat desa penyangga TNBD bermata pencaharian sebagai petani karet khusunya karet alam. Dilihat dari segi produktifitas, karet alam hanya mampu menghasilkan getah sebanyak 600 Kg/Ha/tahun. Tentu saja produktifitas getah yang masih rendah berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNBD. Selain itu, tingkat kesejahteraan petani karet juga sangat ditentukan oleh harga getah yang masih tergolong rendah. Salah satu penyebab rendahnya harga getah karet di tingkat petani adalah rantai pemasaran yang panjang, sehingga biaya pemasaran juga bertambah. Panjangnya rantai pemasaran ini disebabkan oleh kurang mendukungnya aksesibilitas pasar dari petani kepada pembeli. Paling tidak kedua faktor tadi ikut berkontribusi dalam proses pemiskinan masyarakat sekitar kawasan TNBD. Tingkat kesejahteraan yang masih rendah adalah alasan utama masyarakat dalm mengektraksi sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka, termasuk kawasan TNBD. Sementara di sisi lain, kawasan TNBD ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional yang diproteksi dari aktifitas-aktifitas ekstraktif dari masyarakat dari manapun. Kondisi ini tentu sangat dilematis, ketika mereka memeliki sumberdaya namun tidak bisa memiliki ataupun mengektraksinya. Sehingga asumsi-asumsi yang muncul di tingkat masyarakat sekitar TNBD adalah kawasan TNBD justru menambah kemiskinan mereka.

Optimalisasi potensi lokal sebagain upaya mengurangi kemiskinan
Beranjak dari kondisi di atas maka harus ada inisiasi-inisiasi program peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar TNBD. Akan tetapi bicara masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahetraan sama dengan mengurai benang kusut yang tidak tahu lagi mana ujung dan pangkalnya. Dalam upaya ini, tidak bisa dan tidak akan mampu kalau hanya bergerak sendiri-sendiri. Kerjasama berbagai pihak sangat penting dalam upaya ini.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar TNBD adalah dengan melakukan optimalisasi potensi lokal yang ada di sekitar mereka, seperti karet. Optimalisasi dapat dilakukan dengan meningkatkan produktifitas karet dan perbaikan sistem rantai pemasaran karet. Peningkatan produktifitas sangat dipengaruhi oleh bahan tanam yang digunakan. Selama ini petani karet khususnya di sekitar kawasan TNBD masih menggunakan biji sapauan/seedling sebagai bahan tanam. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang pertanian, telah ditemukan beberapa jenis tanaman karet yang memiliki produktifitas lebih tinggi. Jenis-jenis karet tersebut telah melalui proses penelitian yang cukup lama sehingga layak direkomendasikan sebagai karet unggul/klonal oleh institusi yang berwenang. Perbandingan produksi karet unggul/klonal dengan karet biji sapaun/seedling mencapai 2-3 kali lipat. Penggunaan bibit karet unggul/klonal dengan sistem wanatani bisa menjadi salah satu alternatif solusi untuk mereduksi konflik perebutan lahan yang akhir-akhir ini semakin mencuat di beberapa desa penyangga TNBD. Konflik perebutan lahan terjadi seiring dengan semakin meningkatnya populasi penduduk. Sementara pola pertanian yang diterapkan oleh masyarakat sekitar kawasan TNBD masih bersifat ekstensifikasi. Kedepannya tentu, pola pertanian intensifikasi menjadi pilihan tepat. Pola pertanian intensifikasi tercermin pada sistem pertanian wanatani. Selaras dengan sistem pertanian wanatani berbasis karet unggul/klonal, ternyata karet unggul/klonal juga dapat tumbuh dengan baik pada kondisi wanatani. Minimal memasuki matang sadap pada umur lima tahun. Menurut Akiefnawati, 2005 menyatakan karet klonal PB 260 dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi wanatani. Sementara karet seedling lambat pertumbuhannya, sehingga akan menunda matang sadap.

Beberapa keuntungan budi daya karet klon dengan sistem wanatani :
1. Efisiensi biaya pemeliharaan kebun, hanya setiap dua bulan penyiangan pada barisan karet. Setelah tiga tahun tanam tajuk karet sudah menutupi permukaan tanah sehingga mengurangi biaya dan tenaga penyiangan.
2. Matang sadap karet unggul minimal lima tahun. Sehingga petani sudah dapat menikmati hasil menjual produksi karet.
3. Produksi karet unggul 3-5 kali lebih banyak dari pada karet seedling.
4. Seleksi pohon yang bernilai penting pada gawangan karet dapat memperkaya keragaman hayati.

Implementasi wanatani karet klon
Dengan latar belakang tersebut maka semenjak tahun 2003, KKI Warsi bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Program pemulihan keberdayaan masyarakat (PKM) telah mengembangkan berbagai model program pembangunan. Program pembangunan tersebut dikembangkan melalui sistem pertanian wanatani berbasis karet unggul/klonal di 10 desa penyangga TNBD yang tersebar di 3 kabupaten, seperti Desa Tuo Ilir, Tambun Arang (Kabupaten Tebo), Padang Kelapo, Kembang Sri, Batu Sawar, Sungai Lingkar, Paku Aji, Jelutih, (Kabupaten Batanghari), Lubuk Jering, Desa Baru (Kabupaten Sarolangun).
Pada tiga tahun pertama, praktek wanatani yang dilakukan oleh petani berbentuk wanatani sederhana. Dengan menggunakan tanaman sela berupa tanaman semusim, seperti padi, jagung, ubi kayu dan sayur sayuran pada tiga tahun pertama. Setelah tiga tahun, praktek wanatani yang dilakukan lebih berbentuk wanatani kompleks dengan menggunakan tanaman buah-buahan sebagai tanaman sela, seperti Duku, Jengkol, Petai dan lain-lain.
Berbudi daya karet unggul/klonal dengan sistem wanatani tentu akan berbeda dengan budi daya karet alam. Sehingga untuk pengembangan budi daya karet unggul/klonal dengan sistem wanatani perlu diiringi dengan paket-peket pelatihan dan studi banding sebagai wadah alih pengetahuan dan teknologi karet unggul/klonal untuk menjawab keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang teknik budidaya karet unggul/klonal dengan sistem wanatani.
Di beberapa desa KKI Warsi telah melakukan pelatihan dan studi banding mengenai teknik budi daya karet klonal dan teknik perbanyakan/okulasi yang berkerjasama dengan program smallholder rubber agroforestry system ICRAF Muaro Bungo. Pelatihan telah dilakukan di dua desa, yakni Tambun Arang dan Lancar Tiang Desa Tuo Ilir. Studi banding dilakukan ke beberapa demo plot ICRAF Muaro Bungo yang tersebar di Kabupaten Tebo dan Bungo dengan melibatkan seluruh desa yang telah difasilitasi program wanatani berbasis karet klonal.
Keberhasilan dan kegagalan juga ditemui dalam pengembangan sistem ini. Dari sepuluh desa yang diujicobakan hanya di lima desa yang bisa dikategorikan berhasil secara fisik. Keberhasilan ini dinilai dari persentase tumbuh tanaman karet itu sendiri. Bahkan di salah satu desa yakni Desa Baru, wanatani berbasis karet unggul yang telah dikembangkan semenjak tahun 2003 sudah hampir bisa disadap. Sedangkan di lima desa lainnya dikategorikan gagal. Kegagalan ini disebabkan oleh faktor alam dan faktor keterbatasan pengetahuan tentang budi daya karet unggul/klonal.

Sistem pertanian wanatani berbasis karet unggul/klonal adalah barang baru bagi masyarakat desa penyangga TNBD yang pada umumnya petani karet. Pengembangan wanatani berbasis karet klonal masih bersifat uji coba, sehingga keberhasilan dan kegagalan selalu menyertai upaya ini. Tapi paling tidak, KKI Warsi telah mencoba mengembangkan dan mengkampanyekan sistem ini sebagai alternatif solusi konflik perebutan lahan. Selain itu, sistem ini juga bisa menjadi model alternatif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan melakukan penguatan dan optimalisasi potensi lokal yang ada di tengah masyarakat itu sendiri melalui sentuhan perkembangan teknologi.

Kepustakaan :
1. Kurniatun Hairiah, Mustofa Agung Sardjono, Sambas Sabarnurdin (2003), Pengantar Agroforestri. Bogor Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF).
2. J. Rijter dan F. Agus (2004), Sistem Agroforestri. Bogor Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF).
3. Widianto, Kurniatun Hairiah, Didik Suharjito dan Mustofa Agung Sardjono (2003), Peran dan Fungsi Agroforestri. Bogor Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF).
4. G. Wibawa, R. Akiefnawati dan L. Joshi (2006), Sistem wanatani Berbasis Karet. Bogor Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF).
5. RENTAN (01/12/2005), Hutan dan Kemiskinan. Jakarta. Serial Informasi di Lingkungan Kehutanan Program Kehutanan Multipihak.
6. KKI Warsi, Bappeda Tebo dan LP UNJA (2005), Studi Sosial Ekonomi Dan Pemanfaatan Ruang Desa Penyangga TNBD (Studi Kasus Kabupaten Tebo). Jambi.
7. KKI Warsi, Bappeda Batanghari dan LP UNJA (2003), Studi Sosial Ekonomi Dan Pemanfaatan Ruang Desa Penyangga TNBD (Studi Kasus Kabupaten Batanghari). Jambi.
8. Ratna Akiefnawati dan Gede Wibawa (2005), Usaha Meningkatkan Produksi Karet Rakyat Pada Sistem Wanatani. Wordl Agroforestry Centre (ICRAF).
9. de Foresta dkk. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest khas Indonesia, sebuah sumbangan masyarakat. Bogor Indonesia. Wordl Agroforestry Centre (ICRAF).

Tidak ada komentar: