09 November 2010

PUPUK SUBSIDI DISELEWENGKAN

Suparjo Paryan yang biasa dipanggil Paryan, warga Desa Sungai Jernih Kecamatan Muara Tabir Kabupaten Tebo merasa geram ketika mengetahui pupuk berlabel subsidi dijual dengan harga pasar. Kegeraman beliau didasari oleh sebuah kebutuhan pupuk untuk memupuki sawit yang selama ini sebagai sumber pendapatan rumah tangga beliau.
“Pada tahun 2009 lalu, saya bersama-sama dengan 31 orang lainnya bergabung dalam kelompok Mekar Sari. Melalui kelompok, kami telah membuat usulan agar kami mendapatkan pupuk bersubsidi karena harganya lebih murah dibandingkan pupuk non subsidi. Kami telah mengusulkan pupuk jenis urea 16 ton, ZA 16 ton, PHONSKA 16 ton dan SP 36 16 ton. Pada bulan Februari 2010 lalu, kami mendapatkan pupuk PHONSKA 8 ton. Dan beberapa bulan kemudian saya mendapatkan 8 ton urea” tutur Paryan. Setelah dibagi dengan jumlah anggota kelompok, masing-masing orang hanya mendapatkan 250 Kg PHONSKA dan Urea.

Paryar mengungkapkan lebih lanjut “Pupuk yang turun tersebut sebenarnya belum memenuhi kebutuhan sawit kami. Karena menurut pengalaman dalam 1 Ha kebun sawit membutuhkan pupuk urea sebanyak 250 Kg, TSP 250 Kg dan KCl 250 Kg untuk 1 kali pemupukan. Harusnya pemupukan dilakukan 1 kali dalam 4 bulan. Jadi kalau kita hitung dalam 1 tahun, sawit membutuhkan pupuk sebanyak 750 Kg/jenis/Ha”.

Kasus jual beli pupuk subsidi menguak ketika Paryan menemukan adanya peredaran pupuk jenis PHONSKA produksi PT. Petrokimia Gresik yang berlabel subsidi di Desa Sungai Jernih sejak 2 minggu yang lalu. Kemudian Paryan menanyakan tentang pupuk subsidi yang telah diusulkan oleh kelompoknya pada pengecer yang berada di Pasar Desa Bangun Seranten Kecamatan Muara Tabir. Pengecer mengatakan bahwa pupuk subsidi untuk Kecamatan Muara Tabir belum cair.

Dengan rasa penasaran, Paryan menelusuri status pupuk tersebut. Dari penelusuran itulah Paryan menemukan fakta bahwa pupuk tersebut dibeli dengan harga pasar, yakni Rp. 165.000,- s/d Rp. 170.000,- per karung. Padahal harga resmi pupuk subsidi berkisar dari Rp. 110.000,- s/d Rp. 125.000,- per karung. Diperkirakan pupuk subsidi yang beredar di Desa Sungai Jernih berjumlah 50 ton. Diduga pupuk subsidi tersebut berasal dari luar Kabupaten Tebo melalui perantaraan oknum masyarakat desa tetangga sebagai penadah, yang menurut informasi diduga berinisial M yang berdomisili di Bangun Seranten dan Aj yang berdomisili di Simpang SP C Tanah Garo atau Desa Seri Sembilan Kecamatan Tabir Barat Kabupaten Merangin.

Menurut salah seorang petani yang tidak mau disebutkan namanya, “Saya terpaksa membeli pupuk tersebut. Karena saya sudah seringkali mengusulkan Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok/RDKK guna mendapatkan pupuk subsidi. Namun sampai detik ini belum cair juga, sedangkan sawit saya sudah harus dipupuk. Akhirnya mau tidak mau saya tetap membeli pupuk ini. Ada 12 kelompok yang telah membuat RDKK namun realisasi RDKK tersebut sangat rendah. Makanya kami menjadi malas membuat RDKK, udah capek membuatnya”.

Kasus ini memang sebuah ironi ditengah keinginan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil melalui program-program berbasis kerakyatan. Malahan keinginan tersebut dicederai oleh tangan-tangan jahil yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Besar kemungkinan, kasus serupa tidak hanya terjadi di Desa Sungai Jernih. Kalau kasus ini dibiarkan mengalir seperti air, apa yang diinginkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui program-program pro rakyat tidak akan membuahkan hasil apa-apa.

Potensi kawasan, landasan dalam pengelolaan hutan desa

Sekelumit perjalanan hutan desa Lubuk Beringin
Munculnya inisiatif hutan desa merupakan perjalanan panjang dari sebuah komitmen masyarakat dalam praktek pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Praktek pemanfaatan tersebut diperkuat melalui sebuah kesepakatan konsevasi desa pada tahun 2001. Dimana salah satu butir dari kesepakatan tersebut berkaitan dengan larangan bagi masyarakat Dusun Lubuk Beringin melakukan pembukaan lahan di dalam kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Salah satu yang penting dipikirkan dalam menjaga komitmen masyarakat adalah bagaimana komitmen terebut mampu memberikan kompensasi dalam bentuk lain bagi kehidupan perekonomian masyarakat tersebut.
Disahkannya Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008 merupakan momentum penting dalam mengakomodir praktek-praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat. Peraturan pemerintah tersebut diturunkan secara teknis melalui peraturan menteri kehutanan yang mengatur mengenai hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Melalui skema-skema pengelolaah hutan oleh masyarakat mampu memberikan kompensasi secara ekonomi atas praktek pengelolaan hutan yang telah berlangsung di tengah-tengah masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Peluang ini menjadi dasar bagi masyarakat Dusun Lubuk Beringin dalam mengusulkan penetapan areal kerja hutan desa. Proses pengusulan berlangsung dari bulan November 2008 yang ditandai oleh surat permohonan penetapan areal kerja hutan desa oleh Pemerintahan Dusun Lubuk Beringin kepada Bupati Bungo. Pengusulan ini berproses sampai dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK. 109/menhut-II/2009 pada tanggal 17 Maret 2009 tentang penetapan areal kerja hutab desa pada kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur seluas 2.356 Ha terletak dalam wilayah administrasi Dusun Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Hutan desa ini dikelola oleh kelompok pengelola hutan desa (KPHD) Ndedang hulu sako batang buat yang ditetapkan melalui Peraturan Dusun Lubuk Beringin No. 01 tahun 2009 tentang Kelompok Ndendang Hulu Sako – Batang Buat.

Selang sepuluh hari setelah penyerahan SK penetapan areal hutan desa dari Menteri Kehutanan kepada Gubernur Jambi, Gubernur jambi mengeluarkan Hak Pengelolaan Hutan Desa Lubuk Beringin melalui Keputusan Gubernur Jambi No. 124 tahun 2009 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Pada Kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur seluas 2.356 Ha terletak dalam wilayah administrasi Dusun Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi pada tanggal 27 Maret 2009. Setelah diserahkannya Hak Pengelolaan Hutan Desa Lubuk Beringin kepada KPHD Ndedang Hulu Sako Batang Buat maka salah satu kewajiban yang harus dilakukan adalah menyusun Rencana Pengelolaan.

Salah satu dasar dalam proses penyusunan rencana pengelolaan adalah potensi yang terdapat dalam areal kerja. Gambaran potensi didapatkan melalui rangkaian proses pendataan/inventarisasi yang dilakukan dalam areal kerja. Berbicara tentang rencana pengelolaan tentu harus mencakup tiga aspek konservasi, yakni pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan. Peraturan Menteri Kehutanan P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa telah mengamanatkan bahwa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan salah satu yang bisa dimanfaatkan dalam areal kerja di samping pemanfaatan potensi lain selain kayu.

Masyarakat Lubuk Beringin, belajar teknik pendataan HHBK
Melakukan pendataan HHBK tidaklah segampang membalik telapak tangan. Pendataan potensi HHBK membutuhkan kemampuan yang sangat teknis. Sedangkan pengurus KPHD dan masyarakat Dusun Lubuk Beringin belum mempunyai kemampuan teknis yang memadai untuk melakukan pendataan potensi HHBK. Apalagi harus berhadapan dengan “tata cara” pendataan yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kondisi ini juga diperburuk dengan kurang tahunya pengurus lembaga pengelola terhadap alat-alat yang biasa digunakan untuk tujuan pendataan potensi, singkat kata sumberdaya manusia yang ada didalam KPHD Ndendang Hulu Sako Batang Buat belum mampu untuk melakukan ini. Beranjak dari persoalan ini maka diperlukan sebuah transfer ilmu pengetahuan mengenai tekhnis pendataan potensi HHBK, harapannya nanti KPHD bisa secara mandiri untuk melakukan pendataan selanjutmya. Adapaun media yang dirasa cocok untuk mencapai tujuan ini adalah melakukan pelatihan teknis pendataan potensi HHBK kawasan hutan desa.
Tahapan dalam pendataan potensi kawasan hutan desa :
1. Pelatihan teknis pendataan vegetasi dan satwa khususnya burung dan mamalia besar
Jadwal : 6 April 2010
Lokasi : Rumah Ketua KPHD
Narasumber : staff biodiversity KKI Warsi (Qting dan Billy Zetra)
Peserta : Mukhlis, Al Jupri, Awalluddin, Harmuzi, Zulfaisin, Hakim, Hadari .

2. Simulasi teknis pendataan vegetasi dan satwa khususnya burung dan mamalia besar dengan tingkat keberagaman yang sederhana
Jadwal : 6 April 2010
Narasumber : staff biodiversity KKI Warsi (Qting dan Billy Zetra)
Peserta : Mukhlis, Al Jupri, Awalluddin, Harmuzi, Zulfaisin, Hakim, Hadari.

3. Simulasi teknis pendataan vegetasi dan satwa khususnya burung dan mamalia besar dengan tingkat keberagaman yang lebih kompleks
Jadwal : 14 – 15 April 2010
Narasumber : staff biodiversity KKI Warsi (Qting dan Billy Zetra)
Peserta : Awalluddin, Zulfaisin, Hadari, M. Juri, Muslim, Bustari, Haryadi B.

4. Pelaksanaan pendataan vegetasi dan satwa khususnya burung dan mamalia besar di dalam kawasan hutan desa
Jadwal : 10 – 16 Mei 2010
Tim : Awalluddin, Zulfaisin, Bustari, Solihin, Jeff, Sakerti, Sukri, Padol, Mukminin, Azis didampingi oleh 2 orang staff biodiversity KKI Warsi (Qting dan Billy Zetra)

Pengolahan data dan analisis dari hasil pendataan potensi hasil hutan bukan kayu yang dilakukan oleh tim pendataan potensi hasil hutan bukan kayu kawasan Hutan Desa Lubuk Beringin merupakan langkah selanjutnya dalam rangkaian pendataan potensi hasil hutan bukan kayu. Pengolahan data dan analisis sangat membutuhkan kemampuan khusus yang didukung oleh latar belakang keilmuan. Pengolahan data dan analisis proses pendataan potensi HHBK kawasan hutan desa dibantu oleh staff biodiversity KKI Warsi dalam bulan Mei – Juli 2010.

Hasil pengolahan dan analisis dari pendataan adalah sebagai berikut :
1. Penempatan Transect Plot
Dengan menggunakan Peta dan GPS serta informasi dari masyarakat atau anggota KPHD maka dilakukan analisis keruangan dari kawasan yang akan didata secara bersama-sama. Dalam analisis keruangan ini maka didapatkan satu Pematang yang diharapkan mampu menghasilkan sebuah Transect Plot yang didasarkan kepada perbedaan altitudinal. Sehingga hasil tersebut dapat berupa Struktur dan Komposisi HHBK dalam kawasan Hutan Desa berdasarkan altitudinal. Pembuatan Transect Plot dimulai dari batas hutan desa yang menjadi titik terendah dengan ketinggian 343 m dpl hingga terus ke titik tertinggi pada ketinggian 1075 m dpl. Sebanyak 99 sub-plot telah dibuat dalam kajian ini untuk melihat struktur dan komposisi HHBK dalam kawasan Hutan Desa Dusun Lubuk Beringin. Secara umum berdasarkan sebaran tumbuhan berdasarkan altitudinal, kawasan ini termasuk ke dalam kawasan hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi. Sehingga penempatan transect plot ini dapat dikatakan telah mewakili keberadaan HHBK dalam kawasan yang sehamparan dengan kawasan ini.

2. Pendataan HHBK dalam Transect Plot
Sebanyak 37 spesies tumbuhan yang bermanfaat sebagai HHBK diketahui berada dalam Transect Plot yang dilakukan pendataan. Dari keseluruhan species tersebut, jenis-jenis Rotan memiliki kerapatan dan frekwensi kehadiran yang tinggi untuk HHBK bukan pohon. Sedangkan untuk HHBK berupa pohon diwakili oleh Shorea glauca yang menghasilkan damar/resin. Keterwakilan ini diketahui dari banyaknya jumlah individu S. glauca di dalam Transect Plot. Sedangkan untuk kelompok yang bukan pohon, Calamus diepenhorstii memiliki indeks nilai penting tertinggi. Spesies ini memiliki sebaran individu yang cukup banyak dimana frekwensi kehadirannya juga paling tinggi. Spesies ini dapat ditemukan hampir merata dari elevasi terendah hingga elevasi tertinggi.
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa 3 (tiga) spesies utama dari HHBK yang memiliki indeks nilai penting tertinggi tersebut merupakan dari family Palmae yang dalam pemanfaatannya dikatakan sebagai Rotan. Nilai tersebut didukung juga dengan kerapatan tumbuh individunya dan frekwensi kehadirannya juga tinggi. Secara umum keberadaan kelompok Rotan tersebut, tampak mendominasi keberadaan HHBK yang dimanfaatkan. Walaupun demikian, salah satu produk dari pohon Shorea glauca yang berupa Damar/Resin juga menjadi spesies yang memiliki indeks nilai penting yang tinggi seperti yang dituliskan diatas.

Sementara itu beberapa spesies yang dimanfaatkan sebagai buah-buahan lebih sedikit ditemukan di dalam kawasan hutan ini. Secara umum memang buah-buahan lebih berada di dalam kawasan yang boleh dikatakan sebagai kawasan hutan sekunder tua. Pengecualiannya adalah untuk Tumuh (Calamus sp.3) yang termasuk ke dalam kelompok Rotan. Spesies ini menghasilkan buah yang pada musim berbuahnya juga dipanen untuk diperdagangkan walaupun tidak seperti perdagangan seperti pada durian (Durio zibethinus).
Temuan adanya 37 spesies yang dimanfaatkan sebagai HHBK dalam 99 sub-plot pada transect plot ini memperlihatkan keragaman spesiesnya yang dapat dikatakan cukup tinggi. Walaupun secara umum didominasi oleh spesies C. diepenhorstii. Keragaman spesies ini merupakan cerminan dari kondisi kawasan ini sebagai kawasan hutan hujan tropis dataran rendah hingga dataran tinggi. Selain itu keragaman spesies ini juga memperlihatkan spesies-spesies yang ditemukan merupakan spesies-spesies yang hidup di dalam kawasan hutan klimaks. Sehingga bila diperhatikan lebih lanjut dalam pola pemanfaatan ke depannya, keberadaan HHBK ini perlu diatur juga model pemanfaatannya sehingga dapat mempertahankan keberadaan kawasan ini sebagai kawasan yang memiliki keragaman spesies HHBK yang cukup tinggi.

Secara umum, kelompok Rotan yang secara keseluruhan termasuk ke dalam family Palmae memiliki jumlah individu yang banyak sehingga ini juga mempengaruhi keberadaan spesies-spesiesnya di dalam Transect Plot. Pada gambar 2 dapat dilihat perbandingan jumlah individu dari spesies-spesies yang ditemukan berdasarkan family-nya. Selain keberadaan family Palmae yang secara umum merupakan HHBK berupa rotan, beberapa HHBK lain yang juga dimanfaatkan juga dapat ditemukan pada beberapa family lainnya, yaitu:
- Family Bombacaceae yang menghasilkan Buah-buahan.
- Family Dipterocarpaceae yang menghasilkan Damar/Resin.
- Family Euphorbiaceae yang menghasilkan Buah-buahan.
- Family Leguminosae yang menghasilkan Buah-buahan.
- Family Simaroubaceae yang merupakan Tumbuhan Obat
- Family Zingiberaceae yang sering dijadikan sebagai Bumbu Masak; dan
- 3 (tiga) spesies yang belum diketahui spesiesnya yang sering digunakan sebagai Peralatan.
Bentuk sebaran spesies-spesies yang ditemukan pada salah satu sub-plot yang secara keseluruhan didominasi oleh kelompok Rotan (Palmae). Keberadaan Calamus diepenhorstii tampak mendominasi individu-individu dari HHBK di dalam sub-plot tersebut. Berdasarkan informasi masyarakat, spesies ini juga menjadi salah satu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan frekwensi kehadirannya yang tinggi, pantas saja spesies ini memiliki kerapatan yang tinggi pula.

Dari hasil temuan kajian yang dilakukan tersebut, struktur dan komposisi HHBK di dalam kawasan Hutan Desa Dusun Lubuk Beringin dapat terlihat bahwasanya family Palmae menjadi penting dalam pemanfaatan secara sehari-hari. Pemanfaatan ini sering dilakukan secara tanpa harus menggunakan waktu khusus oleh masyarakat, melainkan memanfaatkan waktu perjalanan ke hutan untuk melakukan pemanenan. Selain itu keberadaan family Palmae yang dapat ditemukan di sepanjang garis transect memperlihatkan komposisi hutan kawasan ini sebagai kawasan hutan yang cukup bagus.

Kondisi diatas didukung dengan adanya informasi beberapa spesies pohon yang dimanfaatkan HHBK-nya oleh masyarakat yang termasuk ke dalam pohon-pohon dalam kawasan hutan klimaks. Sehingga dapat dikatakan kawasan hutan ini sebagai kawasan hutan dataran rendah yang masih terjaga kondisi vegetasinya sebagai kawasan hutan yang masih alami.

Penutup
Peraturan Menteri Kehutanan P.49/Menhut-II/tahun 2008 tentang hutan desa telah mewajibkan kepada kelompok pengelola untuk melakukan pendataan potensi kawasan. Pendataan potensi hasil hutan bukan kayu menjadi data dasar dalam pengelolaan hutan desa dalam kawasan hutan lindung. Sementara itu, pendataan potensi sangat membutuhkan kemampuan teknis yang didukung oleh latar belakang keilmuan khusus. Tanpa adanya transfer pengetahuan teknis maka akan sangat mustahil kelompok akan mampu melakukannya secara mandiri. Pendataan potensi hanya sepenggal tanggungjawab yang harus dilakukan oleh kelompok pengelola sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Gubernur Jambi No. 124 tahun 2009 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Pada Kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur seluas 2.356 Ha terletak dalam wilayah administrasi Dusun Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi pada tanggal 27 Maret 2009. Dari rangkaian tanggungjawab tersebut hampir bisa dipastikan kelompok pengelola tidak akan mampu bergerak secara mandiri dalam kerangka persiapan pemanfaatan kawasan yang mampu memberikan kontribusi ekonomi. Oleh karena itu, peran fasilitasi dari para pihak terutama pemerintah diberbagai level sebagaimana yang telah diatur dalam permenhut sangat penting sekali dalam menghantarkan sampai pada proses pemanfaatan areal kerja.

Belajar dari pengalaman Dusun Lubuk Beringin, dukungan pemerintah daerah masih dirasakan kurang maksimal dalam mendukung inisiatif hutan desa. Salah satu yang menjadi kendala bagi pemerintah daerah dalam mendukung inisiatif hutan desa Dusun Lubuk Beringin dikarenakan belum adanya payung hukum yang lebih teknis dari peraturan menteri kehutanan. Tanpa payung hukum teknis tersebut akan berimplikasi pada kekhawatiran instansi terkait di daerah dalam mengambil kebijakan guna mendukung agenda hutan desa. Kekhawatiran itu semakin memuncak ketika di pemberitaan di media dewasa ini terkait dengan kasus dugaan korupsi yang disebabkan oleh kekeliruan mengambil kebijakan. Sementara itu, kebijakan yang diharapkan sebagai acuan ataupun pedoman teknis oleh pemerintah daerah sampai saat ini belum juga disahkan. Dua tahun sudah peraturan menteri mengenai hutan desa dikeluarkan, pedoman teknis masih berupa draf yang belum punya arti apa-apa. Harapannya kebijakan mengenai pedoman teknis mengenai hutan desa segera disahkan guna menjawab kekhawatiran pemerintah daerah dalam mendukung agenda hutan desa di berbagai tempat di nusantara ini.

Ditulis oleh : Adi Junedi , Djoko Sutrisno , PA Qting