09 September 2008

Program pembangunan, menebar bibit menuai dukungan

Keberhasilan pengelolaan Taman Nasional sangat bergantung pada dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat (Mc Kinnon et al, 1993). Salah satu upaya yang dilakukan untuk menarik dukungan dan penghargaan masyarakat sekitar Taman Nasional adalah dengan mengembangkan program pembangunan. Program pembangunan bertujuan untuk meningkatan perekonomian masyarakat desa interaksi. Dengan meningkatnya perekonomian masyarakat desa interaksi diharapkan bisa mengurang laju tekanan terhadap Taman Nasional baik berupa perambahan maupun perbalokan. Tentu saja ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Perlu ada proses belajar bersama untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti penting Taman Nasional. Salah satu Taman Nasional yang mendapatkan tekanan yang cukup besar adalah Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).

Semenjak tahun 2003, KKI Warsi telah mengembangkan berbagai model program pembangunan di 15 desa interaksi TNBD yang tersebar di 3 kabupaten. Desa-desa yang telah difasilitasi program pembangunan tersebut adalah Desa Tuo Ilir, Tambun Arang (Kabupaten Tebo), Sungai Ruan Ulu, Sungai Ruan Ilir, Sungai Lingkar, Padang Kelapo, Kembang Sri, Paku Aji, Hajran, Jelutih (Kabupaten Batanghari), Lubuk Jering, Jernih, Bukit Suban, Semurung, Desa Baru (Kabupaten Sarolangun). Model program pembangunan yang telah dikembangkan berupa : gerakan kembali ke sawah, peremajaan karet unggul dan kebun bibit karet. Bentuk pengelolaannya beragam pula tergantung potensi dan kondisi di masing-masing desa. Sebagian besar program pembangunan yang telah dikembangkan didominasi oleh program peremajaan karet. Berpijak pada hasil studi sosial ekonomi dan pemanfaatan ruang di beberapa desa penyangga TNBD yang telah dilakukan oleh KKI Warsi bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Jambi dan Pemeritah Daerah setempat menyimpulkan bahwa karet memiliki potensi ekonomi utama jangka panjang dan berkelanjutan bagi masyarakat di desa.
Menurut data ICRAF sebuah lembaga riset yang konsen mengadakan penelitian mengenai karet di Kabupaten Bungo dan Tebo mengatakan bahwa luasan kebun karet di Propinsi Jambi mencapai 429.335 ha (98% kebun rakyat), sedangkan produksinya baru mencapai 185.196 ton/th (95% kebun rakyat). Kalau dikalkulasikan maka produksi karet Propinsi Jambi hanya 43% saja dari luasan kebun karet Propinsi Jambi.

Masih rendahnya produksi karet rakyat menjadi permasalahan nyata yang dirasakan oleh masyarakat dalam mengelola kebun karet. Karena saat ini, petani masih menggunakan bibit karet liar yang berasal dari biji (seedling). Perbandingan produktivitas karet seedling hanya sepertiga dari karet okulasi (klon) (ICRAF Bungo, 2005). Selain itu, rendahnya produktivitas juga disebabkan oleh keterbatasan modal dan pengetahuan serta lambatnya peremajaan yang dilakukan secara swadaya. Semua itu berimplikasi kepada tingkat kesejahteraan petani karet itu sendiri. Proses pemberdayaan sangat penting untuk menjawab keterbatasan modal dan pengetahuan masyarakat dalam meremajakan karet. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat -khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan- didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka (Soekasmanto, 2005). Prinsip dalam pemberdayaan adalah menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama. Upaya pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non-pemerintah (Tampubolon, 2005)
Memberdayakan masyarakat dengan hanya memberikan bantuan uang, bukanlah segalanya. Sebagai contoh, banyak proyek-proyek Inpres yang tekanannya memberikan bantuan material kepada masyarakat desa justru mematikan swadaya masyarakat, bahkan sebaliknya menjadikan masyarakat menggantungkan diri kepada pemberi bantuan.

Dalam rangka memberdayakan masyarakat di beberapa desa interaksi telah dilakukan dengan membuka akses masyarakat untuk mendapatkan bibit unggul yang berkualitas baik. Untuk memutus ketergantungan masyarakat dari bibit unggul dari luar yang berharga tinggi telah diupayakan pula untuk mendorong masyarakat untuk membangun kebun entres. Dengan kebun enters ini bisa menjamin kesinambungan ketersedian bibit unggul dan bahkan bisa menjadi mata pencaharian tambahan bagi masyarakat. Memberikan bibit yang berkualitas baik belum menjamin hasilnya akan baik, kalau tidak diikuti dengan upaya transfer ilmu dalam berbudi daya karet. Menjawab permasalahan keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang teknik budidaya karet dan cara mengelola program pembangunan telah diupayakan proses pembinaan baik yang dilakukan langsung oleh staf KKI Warsi sendiri maupun melakukan kerjasama dengan lembaga/intansi yang mempunyai kemampuan untuk itu. Untuk mendorong munculnya proses belajar bersama, pada tanggal 2 – 3 Desember 2005 telah diinisiasi sebuah studi banding dan forum diskusi berbagi pengalaman mengenai pengelolaan program pembangunan dalam rangka pelestarian TNBD.

Program pembangunan yang telah dilakukan memberikan dampak propaganda yang cukup besar bagi penerimaan masyarakat desa interaksi TNBD dan pemerintah daerah terhadap KKI Warsi. Virus program pembangunan telah menyebar dibeberapa desa yang tergolong resistensi tinggi, seperti Desa Batu Sawar (Kabupaten Batanghari), dan Tanah Garo (Kabupaten Tebo).
Masyarakat Desa Batu Sawar dan Desa Tanah Garo telah membuka diri untuk menerima keberadaan KKI Warsi dengan program pembangunannya. Harapannya, virus ini akan terus menyebar di seluruh desa interaksi TNBD, sehingga ini bisa meningkatkan daya terima masyarakat desa interaksi terhadap KKI Warsi, TNBD dan Orang Rimba.

Tidak ada komentar: