09 Januari 2009

Orang rimba sang survivor sejati.. (studi kasus Cluster Amir dan Cluster Bujang Pinggir)

1. Gambaran Umum masing-masing Kelompok
Orang rimba cluster Amir merupakan pecahan orang rimba dari wilayah Kabupaten Bungo, tempat cluster Bujang Pinggir bermukim. Pemecahan kelompok ini dilakukan dengan alasan pengurangan tingkat persaingan hidup di tengah keterbatasan ketersediaan sumber perekonomian. Orang rimba cluster Amir sudah sejak 10 tahun belakangan bermukim di wilayah Dharmasraya dan Solok Selatan bahkan mereka tidak lagi berpindah ke wilayah asal mereka . Sehingga Orang rimba kedua cluster ini masih mempunyai hubungan kekerabatan, seperti contoh mertua dan Ipar Bujang pinggir serta Adik Gubernur Tengkot sampai sekarang masih bergabung dalam cluster Amir .
Orang rimba cluster Amir dan cluster Bujang Pinggir terbagi dalam kelompok-kelompok yang relatif kecil. Pada satu kelompok hanya terdiri 1 – 4 rumah tangga pada tempat yang berbeda dan relatif berjauhan satu sama lainnya. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengurangi tingkat persaingan hidup/perebutan sumber perekonomian. Karena peningkatan populasi berbanding terbalik dengan ketersediaan sumber perekonomian. Kondisi tersebut memaksa mereka untuk memperluas wilayah jelajah, melingkupi Kabupaten Dharmasraya dan Solok Selatan Propinsi Sumatera Barat, Kabupaten Kuantan Singgigi dan Rengat Propinsi Riau, Dusun Tuo Sumay Kabupaten Tebo dan Bungo Propinsi Jambi. Di samping itu, daya mobilitas kelompok-kelompok ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok-kelompok orang rimba yang berada di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Paling lama mereka berdiam pada satu lokasi hanya satu bulan. Faktor penentu yang mendorong mereka untuk melakukan perpindahan adalah sumber perekonomian. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain sesuai dengan ketersediaan hasil buruan yang menjadi penghasilan utama mereka. Dalam beberapa malam saja mereka bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan alasan hasil buruan sedikit. Melangun tidak lagi menjadi faktor penentu perpindahan mereka.

Lokasi tempat tinggal dan kegiatan ekonomi mereka berada di areal perkebunan peruasahaan dan masyarakat sekitar, hutan tersisa serta belukar masyarakat sekitar. Selain budaya melangun, mereka juga terkondisikan dengan pola ketersediaan lahan dan hasil buruan. Kondisi lokasi tempat tinggal masing-masing kelompok
Rusli Desa Sungai Besar Kecamatan Lubuk Jambi Kabupaten Kuantan Singgigi Propinsi Riau. perkebunan sawit dan kelapa PT Tribakti Sarimas
Usup Jorong Bonjol, Nagari Koto Besar, Kecamatan Sungai Rumbai Kabupaten Dharmasraya Propinsi Sumatera Barat. hutan eks HPH Pembangunan Model Unit Manajemen Hutan Meranti (PMUMHM) PT Inhutani V
Umar Jorong Bonjol, Nagari Koto Besar, Kecamatan Sungai Rumbai Kabupaten Dharmasraya Propinsi Sumatera Barat. hutan eks HPH Pembangunan Model Unit Manajemen Hutan Meranti (PMUMHM) PT Inhutani V
Suli Jorong Sungai Gadang Nagari Dusun Tangah Kecamatan Sangir Batanghari Kabupaten Solok Selatan Propinsi Sumatera Barat. Belukar muda Antara areal eks transmigrasi dengan areal perkebunan sawit PT BPSJ
Hasan Jorong Sungai Gadang Nagari Dusun Tangah Kecamatan Sangir Batanghari Kabupaten Solok Selatan Propinsi Sumatera Barat. karet muda eks transmigrasi
Bujang Pinggir Desa Rantau Ikil Kecamatan Jujuhan Kabupaten Bungo Propinsi Jambi Karet tua Kira-kira 500 m dari jalan lintas Padang – Bungo Km 44
Bujang Alam Desa Rantau Ikil Kecamatan Jujuhan Kabupaten Bungo Propinsi Jambi Karet tua Kira-kira 1 Km dari jalan lintas Padang Bungo Km 50
Selain itu, terdapat lima kelompok lainnya yang masih tergabung dalam cluster Amir dan dua kelompok cluster Bujang Pinggir yang tidak berhasil ditemui. Lima kelompok tersebut adalah kelompok Amir dan Marni (janda Hasan) sedang berada di wilayah Padang Lalang Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya , kelompok Bujang Bagak sedang berada di Pranap Kabupaten Kuantan Singgigi , Udin sedang berada di Nagari Padang Limau Sundai Kecamatan Sangir Jujuhan Kabupaten Solok Selatan, dan kelompok Penyiram sedang berada di Lintau Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat . Sedangkan pada cluster Bujang Pinggir, kelompok Peniti Gunung dan kelompok Gubernor Tengkot yang berada di areal perkebunan PT Tidar Kerinci Agung (PT TKA) .

Populasi pada masing-masing kelompok
Rusli terdiri dari 2 KK 7 Jiwa, satu rumah tangga janda
Usup terdiri dari 4 KK 13 jiwa
Umar terdiri dari 2 KK 8 jima
Suli terdiri dari 1 KK 7 jiwa
Hasan terdiri dari 2 KK 8 jiwa, Keduanya rumah tangga janda/duda
Bujang pinggir terdiri dari 2 KK 10 Jiwa
Bujang Alam terdiri dari 3 KK 17 Jiwa
Total 16 KK 70 jiwa.

2.Organisasi Sosial
Bujang pinggir dan Amir menjadi sentral dari seluruh keterkaitan kelompok-kelompok di cluster ini. Organisasi sosial yang tercipta didasarkan pada sebuah hubungan kekerabatan di antara mereka. Bujang Pinggir dan Amir disebut-sebut oleh orang rimba di dua cluster ini sebagai pemimpin mereka. Kepemimpinan Bujang Pinggir dan Amir sangat dikenal bahkan sampai keluar komunitas mereka. Paling tidak ada dua faktor yang mendorong pengangkatan Amir sebagai pemimpin cluster ini, yakni ; 1. kemampuan personal, 2. keturunan.

Struktur organisasi sosial mereka sudah dipengaruhi oleh struktur birokrasi pemerintahan yang berlaku lazim di luar. Hal ini dapat terlihat dari pembagian kekuasaan dan penyebutan terhadap pemimpin mereka seperti ketua, camat, kepala desa dan mangku. Pengaruh luar sudah menggeser struktur organisasi sosial adat mereka. Pergeseran tersebut didukung oleh infrastruktur aksesibilitas yang semakin terbuka.

3. Jati Diri
Mereka masih menyebut diri sebagai orang rimba ditengah berlangsungnya degradasi rimba/hutan di sekitar mereka. Degradasi hutan terjadi sebagai akibat dari konversi hutan menjadi perkebunan sawit dan karet baik oleh perusahaan maupun masyarakat sekitar, transmigrasi serta illegal logging. Pola hidup orang rimba yang sangat tergantung dengan hutan memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan degradasi hutan yang terjadi. Dan hal tersebut berimplikasi pada pergeseran nilai-nilai tatanan kehidupan mereka.

Selain degradasi hutan, infrastruktur aksesibilitas juga turut berkontribusi terhadap percepatan proses pergeseran nilai-nilai tersebut. Infrastruktur aksesibilitas meningkatkan frekwensi dan intensitas interaksi mereka dengan dunia luar. Buah dari interaksi tersebut membawa pengaruh terhadap tatanan kehidupan mereka, baik secara sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Seiring dengan pergeseran nilai yang semakin cepat maka diasumsikan lambat laun identitas mereka sebagai orang rimba akan hilang. Walaupun dari segi penampilan dan makanan masih bisa dipertahankan.

4. Pola Konsumsi dan Penampilan
Selain untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, mereka juga memanfaatkan penghasilan mereka untuk membeli barang-barang yang tergolong mewah bagi mereka seperti mobil, sepeda motor, hand phone dan tape radio. Barang-barang tersebut memang sangat membantu mereka dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, seperti mobil dan sepeda motor membantu mobilitas mereka dalam melakukan pencaharian sumber ekonomi dan berpindah tempat, hand phone membantu dalam membangun komukasi antar kelompok.

Dari sisi penampilan, mereka masih bisa diidentifikasikan sebagai orang rimba. Mereka hanya menggunakan “cawot ”, bra dan“kemban ” sebagai penutup kemaluan apabila berada di sekitar lokasi tempat tinggal mereka. Namun ketika mereka menetap disekitar pemukimam masyarakat nagari/desa sekitar ataupun ketika mereka ke pasar dan puskesmas, mereka sudah menggunakan pakaian seperti layaknya orang luar.
Mereka punya keinginan untuk mempertahankan pola hidup sekarang, berpindah dari satu kawasan ke kawasan yang lain, meramu hasil hutan dan berburu. Walaupun sebenarnya potensi disekitar tidak mendukung untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Keinginan tersebut terucap oleh karena mereka tidak mempunyai kemampuan teknis selain meramu dan berburu. Sehingga mereka khawatir apabila mereka menjadi orang luar maka mereka akan tergilas dengan perkembangan yang sangat cepat di luar komunitas mereka.

5. Status Nutrisi
Kondisi kesehatan mereka relatif baik, walaupun batuk-batuk dan penyakit kulit masih menjadi bagian dari kehidupan mereka. Kondisi kesehatan anak-anak merekapun relatif baik bahkan terlihat relatif gemuk. Hal ini disebabkan oleh karena asupan nutrisi mereka yang relatif baik, seperti karbohidrat dan protein.
Hampir disetiap kelompok ditemui penyakit kulit dan batuk. Bahkan yang lebih parah lagi, penyakit kulit dan batuk yang mereka derita sudah cukup lama. Kedua penyakit tersebut seakan sudah mengisi hari-hari mereka, tanpa mereka tau akibat fatal dari penyakit tersebut. Penyakit kulit dan batuk yang mereka derita disebabkan oleh kebiasaan buruk mereka yang pada umumnya perokok berat dan buruknya sanitasi mereka yang jauh dari pola hidup bersih.
Seluruh anggota kelompok membeli beras dan ubi sebagai sumber karbohidrat di pasar kecamatan dari sebagian hasil pencaharian. Sedangkan sumber protein mereka dipenuhi dari babi dan ikan yang mereka cari sendiri. Dan frekwensi makan merekapun sudah bisa dikatakan teratur dua kali dalam satu hari.

6. Sumber Pencaharian
Sumber pencaharian utama mereka adalah berburu dan mencari jernang. Diperkiraan penghasilan mereka dalam satu bulan sudah bisa dikatakan lebih dari cukup. Namun penghasilan mereka tersebut belum berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan mereka, karena pola hidup mereka yang konsumtif.

Pada cluster Amir, mereka menggunakan kujur dan perangkap dalam melakukan perburuan. Dulunya mereka pernah membuat dan menggunakan kecepek , namun beberapa waktu belakangan mereka tidak lagi menggunakan karena akses satu-satunya terhadap peralatan dan perlengkapan penggunaan kecepek tidak lagi ada karena di amankan oleh pihak kepolisian. Berbeda dengan cluster Bujang Pinggir, mereka sampai saat ini masih menggunakan kecepek. Karena belum ada pelarangan yang tegas dari aparat terkait penggunaan senjata tersebut.

7. Kepemilikan Lahan
Selain berburu dan mencari jernang mereka juga sudah mulai membuka kebun karet semejak 3 tahun belakangan. Namun kecenderungan orientasi mereka dalam berbudi daya tanaman karet masih sebatas untuk dijual. Mereka belum menjadikan kebun karet sebagai basis ekonomi jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh karena, mereka belum memiliki waktu dan kemampuan teknis mengenai budi daya karet, seperti merawat bahkan sampai menyadapnya. Dari informasi yang didapatkan, setidaknya dalam beberapa waktu terakhir telah terjadi dua kali penjualan lahan pada cluster Amir. Sedangkan pada cluster Bujang Pinggir pernah terjadi satu kali penjualan lahan.

Sesap dan hutan 1 tahun Lokasi di antara Sungai Lintang Akar dg Sungai Batu Gedang, dijual kepada orang Pelayang dg harga Rp. 3.000.000 – Rp.4.000.000/Ha.
Diserobot oleh PT Tebora di sungai Gambir anak sungai Mampun dekat perumahan II PT Tebora yang sudah diland clearing sekitar 4 bulan lewat untuk ditanami sawit.

8. Hubungan ke Luar
Kondisi di sekitar mereka?? Interaksi yang bersifat intensif dengan orang luar hanya terbatas dengan beberapa orang saja. Landasan interaksi tersebut dipengaruhi oleh ekonomi dan perlindungan keamanan. Sedangkan interaksi yang lebih luas belum nampak pada dua cluster ini. Berikut orang-orang yang menjalin interaksi intensif dengan orang rimba di masing-masing cluster.
Bujang Pinggir Amir
Ekonomi Perlindungan Ekonomi Perlindungan
1. orang batak simpang PT TKA (tidak diketahui namanya)
2. orang Sungai Rumbai (tidak diketahui namanya)
3. Ahoi di Bungo 1. Pilus di Talang Silungko
2. Sudirman di Leban 1. Eri di Koto Baru
2. Iwan di Koto Baru
3. Buyung Bana di Bidar Alam 1. Yulidar di Polsek Sangir Batanghari
2. Ma’asdi di Dusun Tangah
Mereka belum menjadi bahagian dari tatanan kehidupan masyarakat desa/nagari sekitar. Hal ini disebabkan oleh daya terima masyarakat luar terhadap mereka masih tergolong rendah. Di samping itu, dari sisi orang rimbapun masih ingin bertahan dengan pola hidup dan kepercayaan mereka yang sudah berlangsung lama. Dengan alasan melanggar pantang, mereka cenderung bertahan dengan kondisi sekarang. Walaupun sebenarnya, keinginan tersebut tidak didukung oleh lingkuang sekitar mereka.

9. Konflik dengan Dunia Luar/Kelompok Lain
Konflik yang tercipta antara orang rimba pada dua cluster ini disebabkan oleh perebutan sumber daya alam dan utang piutang. Pada umumnya, konflik yang muncul bersifat laten. Hal ini dikarenakan oleh ketidakberdayaan mereka dalam memperjuangkan dan mempertahankan yang menjadi kebenaran bagi mereka. Beberapa konflik terbuka yang pernah terjadi di dua cluster ini adalah terkait utang piutang, seperti kelompok Suli dengan Win di Abai, kelompok Rusli dengan seseorang yang tidak diketahui persis namanya di Sungai Besar. Sedangkan potensi konflik yang diprediksikan akan muncul terkait dengan perebutan sumber daya alam, seperti cluster Bujang Pinggir yang mengaku bahwa sesap dan hutan pusaron mereka yang diserobot oleh perkebunan sawit PT Tebora dan beberapa lahan mereka yang juga diserobot oleh masyarakat sekitar. Mereka juga mengakui ketidakberdayaan mereka dalam memperjuangkan hak mereka tersebut. Keadaan tersebut memaksa mereka untuk bersikap mengalah. Bagi konflik yang bersifat ringan, biasanya mereka akan meminta bantuan kepada para pelindung keamanan mereka untuk turut serta menyelesaikannya.

10. Akses ke Infrastruktur
Pada umumnya, orang rimba kedua cluster ini sudah mengakses puskesmas terdekat dengan lokasi mereka berada. Hal ini menandai awal keterbukaan mereka dengan dunia kesehatan. Walaupun penyakit yang mereka bawa ke puskesmas masih tergolong berat, seperti malaria, batuk bahkan TBC. Selain itu, orang rimba ke dua cluster ini juga sudah mengakses pasar sebagai tempat transaksi jual beli. Pasar yang mereka akses tidak tetap karena harus menyesuaikan dengan tempat tinggal mereka. Mereka ke pasar guna menjual hasil mereka dan membeli bahan-bahan kebutuhan mereka, seperti beras, gula, kopi, ubi dan sebagainya.

11. Pembangunan dari Pihak Luar
Dari dua cluster ini, baru cluster Amir yang telah merasakan bantuan dari pihak luar, yakni Polres Solok Selatan Sumatera Barat. Bantuan ini tidak terlepas dari peran Yulidar dan Ma’asdi yang telah mencoba memfasilitasi mereka. Dari Polres Solok Selatan Sumatera Barat mereka mendapatkan uang tunai senilai Rp. 14.000.000,- ditambah dengan sejumlah logistik berupa roti, beras dan kebutuhan harian lainnya serta obat-obatan.

Sedangkan cluster Bujang Pinggir, mereka mengaku bahwa mereka belum penah mendapatkan bantuan apa-apa dari pihak manapun. Sekitar 1-2 bulan belakang, Dinas KSPM kab. Bungo telah melakukan survey mengenai peluang bantuan perumahan sosial. Namun mereka menolak jika mereka harus “dirumahkan” dengan alasan akan mengekang kehidupan mereka dalam melakukan aktifitas ekonomi.

(hasil survey orang rimba dg pendekatan bioregional KKI Warsi, tim Adi Junedi, Nofri Hidayat dan Abdul Rahman)

Penguatan kelembagaan lokal masyarakat sebagai wujud upaya pemberdayaan dan membangun dukungan terhadap kawasan TNBD

Upaya membangun dukungan dari masyarakat desa terhadap kawasan TNBD dengan kekhususannya telah dilakukan proyek beberapa tahun belakangan. Entri point membangun dukungan diimplementasikan dalam berbagai bentuk program pembangunan.
Dari capaiannya telah membuktikan bahwa program pembangunan telah mengembalikan daya terima masyarakat yang di beberapa desa sempat hilang karena konflik kepentingan segelintir orang. Harapannya dengan meningkatnya daya terima masyarakat terhadap warsi membuka pintu komunikasi dan kampanye penyadaran kepada masyarakat desa.
Tambun Arang sebagai salah satu desa penyangga TNBD yang dulunya resisten terhadap warsi. Pada tahun 2005/2006 kita telah mengembangkan program peremajaan karet klon. Melalui entri point program pembangunan dan pendekatan yang dibangun telah meningkatkan daya terima masyarakat Desa Tambun Arang terhadap keberadaan warsi. Walaupun capaian secara fisik persentase keberhasilannya masih tergolong rendah. Pasca implementasi program peremajaan karet klon, kita mencoba untuk mencari dan mengembangkan “mainan” baru dalam upaya membangun komunikasi dengan komunitas dampingan tetapi tetap pada koridor membangun dukungan yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan.
Salah satu “mainan” yang dikembangkan adalah melakukan penguatan kelembagaan lokal masyarakat, yakni Kelompok Swadaya Masyarakat Teluk Cermin (KSM TC). KSM TC dibentuk murni dari inisiatif 5 orang masyarakat Desa Tambun Arang (profil terlampir). Dari diskusi awal teridentifikasi beberapa kelemahan dan hambatan :
1. Anggotanya masih dalam lingkaran keluarga dekat.
2. Posisi dan fungsi yang diambil KSM TC juga tidak ubahnya dengan LSM yang bersifat fasilitasi.
3. Belum memiliki aturan-aturan main.
4. Orientasi organisasi masih kurang jelas.
5. Kegiatan masih banyak dilakukan secara swadaya karena belum memiliki sumberdaya pendukung.
Dari kelemahan dan hambatan yang teridentifikasi maka kita mencoba untuk melakukan penguatan guna mengurangi kelemahan dan mengantisipasi hambatan. Metode penguatan yang dilakukan melalui beberapa kali diskusi dengan beberapa anggota KSM TC. Dari beberapa kali diskusi tersebut, dihasilkan pembenahan-pembenahan dan membuat aturan main sederhana sebagai pedoman jalannya roda organisasi. Pembenahan yang dilakukan lebih dititikberatkan pada re-orientasi organisasi.

Terkait dengan hambatan, kita telah dua kali memfasilitasi KSM TC untuk mengakses dukungan ke Sumatera Suistanable Support (SSS). Karena dari profil SSS, kelompok-kelompok masyarakat menjadi salah satu dukungan berupa hibah dan non hibah yang diberikan SSS terkait dengan peningkatan kapasitas dan pengembangan usaha kelompok. Pada usulan yang ditawarkan KSM TC untuk kedua kali, akhirnya SSS bersedia mendukung upaya yang akan dikembangkan oleh KSM TC melalui peningkatan kapasitas anggota dalam pengembangan usaha anyaman dan sulaman benang emas.
Dalam konteks kepentingan fasilitasi, KSM TC dulu diidentifikasi sebagai salah satu kelompok yang bisa dan mampu digunakan untuk melawan dan mengklarifikasi isue-isue negatif yang dihembuskan oleh PESAD terhadap warsi. Lebih strategisnya lagi, KSM TC diharapkan bisa dan mampu menjadi kelompok yang mau dan berkomitmen mendukung keberadaan TNBD. Karena salah satu upaya yang dilakukan dalam kerjasamanya dengan SSS adalah membangun kesepakatan untuk mengurangi tekanan terhadap TNBD.

Membangun kekuatan bersama dalam mengadvokasikan perambahan dan penjualan lahan di Kasang Panjang dan Sungkai

Kasus perambahan dan penjualan lahan di kasang Panjang dan Sungkai yang note bene terjadi dalam kawasan hutan produksi merupakan kasus lama dan menahun. Kasus ini juga telah menjadikan seorang Dayat Pasaribu sebagai nara pidana. Namun dengan mempidanakan Dayat Pasaribu belum juga menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Karena akar permasalahan yang sebenarnya adalah kawasan yang telah dibuka oleh sekelompok orang (jumlah pastinya tidak diketahui) yang berasal dari berbagai daerah di luar Desa Tambun Arang, Tanah Garo dan Lancar Tiang. Hal tersebut menimbulkan kecemburuan dan konflik perebutan sumberdaya penting sebagai penyangga ekonomi jangka panjang masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan guna meresolusikan konflik tersebut. Akan tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Diakui memang, bahwa masih banyak kebolongan dalam melakukan upaya advokasi terdahulu. Merefleksikan upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini maka teridentifikasi beberapa kelemahan dan hambatan, yakni :
1. Upaya yang dibangun masih sektoral dan tidak mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada di sekitar wilayah tersebut.
2. Kontrol/proteksi sumberdaya masyarakat asli masih relatif lemah
3. Ketidakjelasan batas wilayah desa melemahkan dasar klaim masing-masing desa.
4. Komitmen dan kemauan politik pemerintah kabupaten Tebo dalam penyelesaian kasus tersebut masih relatif rendah, khususnya Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo dan propinsi Jambi sebagai institusi yang berwenang.

Belajar dari pengalaman tersebut maka kita mencoba untuk membangun sinergi gerakan bersama sebagai para pihak yang berkepentingan di wilayah konflik tersebut. Terkait dengan itu, pada tanggal 24 November 2008 di Desa Tambun Arang telah dilangsungkan pertemuan antar desa (Tambun Arang, Tanah Garo Lancar Tiang) yang turut dihadiri oleh lembaga-lembaga (KKI Warsi, PDP-TNBD, FLEGT SP, PUSAKA, PESAD, KSM Teluk Cermin) yang beraktifitas di wilayah tersebut.

Dalam upaya advokasi ini, kita memposisikan PDP-TNBD sebagai leading sector yang aktif mendorong agenda-agenda tersebut sebagai bentuk dari pemberdayaan PDP-TNBD.
Pertemuan tersebut menyepakati untuk membentuk tim untuk mengawal dan melakukan upaya-upaya hukum dalam meresolusi konflik perambahan dan penjualan lahan dalam kawasan hutan produksi yang berada dalam wilayah ketiga desa tersebut. Berdasarkan mandat tersebut, tim telah merumuskan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengawal dan melakukan upaya tersebut, yakni indentifikasi dan investigasi, advokasi dan kampanye media (hasil kesepakatan terlampir). Dari identifikasi dan investigasi yang telah dilakukan maka didapatkan data-data terkait dengan permasalahan tersebut, seperti beberapa fotocopy surat jual beli, peta titik koordinat lokasi konflik sebagai pembuktian jual beli terjadi dalam kawasan hutan produksi, fotocopy surat peringatan Dinas Kehutanan Tebo kepada H. Gani dan H. Kuang, dasar klaim wilayah, dan data-data primer terkait aktor pembeli dan penjual, perkiraan luas, proses mendapatkan dan kondisi vegetasi.