08 September 2008

Batu Sawar

Studi Keruangan dan rumah tangga dalam pemanfaatan lahan

I. Studi keruangan
Seperti yang telah disampaikan pada laporan bulan lalu bahwa kades meminta untuk melakukan sosialisasi ulang studi ekonomi dan keruangan. Karena kades dan sebahagian masyrakat Batu Sawar belum bisa memahami sepenuhnya maksud dan tujuan melakukan studi. Sehingga dengan dilakukannya sosialisasi ulang diharapkan bisa mengeliminir pandangan negatif dari masyarakat Batu Sawar. Berdasarkan permintaan tersebut maka pada tanggal 16 Februari 2007 kemaren telah dilakukan sosialisasi ulang. Sosialisasi yang dilakukan tidak hanya menyampaikan rencana kegiatan studi namun juga menyampaikan mengenai kelembagaan KKI Warsi. Dari respon masyarakat terhadap paparan yang disampaikan secara prinsip tidak ada permasalahan mengenai studi yang akan dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul justru berkaitan dengan rencana program pembangunan yang akan dikembangkan di Batu Sawar. Nampaknya mereka sangat berharap dengan program peremejaan karet yang rencananya akan kita kembangkan.

Dari studi keruangan yang telah dilakukan didapatkan gambaran mengenai keruangan Desa Batu Sawar :
1. Pola pemanfaatan lahan
Pemanfaatan lahan masyarakat Desa Batu Sawar sangat didominasi oleh perkebunan tanaman tua, seperti karet, sawit dan buah-buahan. Sebahagian besar komoditi dari perkebunan tersebut adalah tanaman karet. Pemanfaatan lahan sangat dipengaruhi oleh aksesibilitas. Aksesibilitas yang mendukung pola pemanfaatan lahan adalah jalan darat eks. perusahaan HPH dan Sungai Kejasung Besar serta Kejasung Kecil. Pola pemanfaatan lahan berada di sepanjang ketiga akses tadi menuju ke kawasan TNBD bahkan saat ini pemanfaatan lahan masyarakat Desa Batu Sawar sebahagian besar berada di daerah camp tengah yang berada di dalam kawasan TNBD. Sedangkan kecenderungan pembukaan baru justru mengarah ke daerah Dam Melempar yang berada semakin masuk kedalam kawasan TNBD.

Dari analisa citra land sat tahun 2005 diperkirakan perkebunan karet dan bukaan baru masyarakat yang masuk dalam kawasan TNBD sekitar 500 – 600 Ha mengacu pada batas kawasan yang ditunjuk oleh SK Menhut sedangkan berdasarkan batas BIPHUT diperkirakan sekitar 200 – 300 Ha. Namun yang melakukan pembukaan lahan di sana tidak hanya masyarakat Batu Sawar tapi ada juga masyarakat dari luar seperti Paninjauan, Buluh Kasap dan Kembang Seri. Kondisi ini tentu tidak lazim terjadi di desa-desa lain, karena di Batu Sawar justru pembukaan lahan bermula di daerah camp tengah sedangkan ketersediaan lahan yang masih terlantar (belukar/sesap) sekitar pusat desa masih mencukupi untuk dimanfaatkan.
Setelah dilakukan penggalian lebih dalam ternyata pembukaan lahan disekitar camp tengah tersebut bermula ketika perusahaan HPH (Alas) masih beroperasi yang dilakukan oleh Syamsul (warga Batu Sawar) di daerah Camp Tengah bersama dengan Basir (warga Kembang Seri). Setelah perusahaan HPH tidak beroperasi lagi, Syamsul tetap melakukan pembukaan lahan sambil berbalok. Ketika berbalok dulu, kebanyakan warga Batu Sawar terlena dengan perbalokan, sehingga hampir tidak ada yang melakukan pembukaan lahan untuk berkebun kecuali Syamsul. Semenjak tahun 2003/2004 hampir sebahagian masyarakat Batu Sawar menghentikan kegiatan perbalokan. Hal ini didasarkan oleh karena penegakan hukum sudah mulai ketat sehingga hampir tidak ada ruang negosiasi lagi antara penegak hukum dengan toke-toke. Sehingga untuk menyambung hidup masyarakat Batu Sawar sangat bergantung kepada tetesan getah karet sebagai mata pencaharian pengalih. Namun di saat mereka mulai beralih ke perkebunan karet, mereka tidak punya karet untuk disasap. Alhasil merekapun menyadap karet Syamsul dan Basir yang berada di daerah Camp Tengah sebagai buruh. Berawal dari sini, sebahagian besar masyarakat Batu Sawar mulai melakukan pembukaan lahan baru di sekitar kebun karet Syamsul sambil menyadap karet.

Ketersedian lahan terlantar (belukar/sesap) yang dekat dengan pusat desa sebenarnya sangat mencukupi untuk penghidupan mereka. Namun karena ada ketergantungan yang cukup tinggi dengan karet di daerah Camp Tengah makanya mereka memilih untuk menetap di sana dan melakukan pembukaan lahan. Walaupun sebenarnya kepemilikan lahan tersebut tidak merata untuk setiap kepala keluarga yang ada. Belukar/sesap tersebut terbentang sepanjang Sungai Tabir dan dikirikanan eks. jalan perusahaan HPH yang menuju ke Camp Tengah tepatnya dibelakang kebun-kebun karet. Sedangkan ketersediaan sawah sebagai sumber pangan sangat terbatas sekali. Sawah terletak di belakang pusat desa yang berjarak kira-kira 0,5 Km dan di seberang pusat desa yang berjarak kira-kira 0,25 Km. Kepemilikan sawah ini hanya dimiliki oleh 2 keluarga besar, yakni keluarga besar kades yang terletak di belakang pusat desa dan keluarga almarhum H. Zakaria yang berada di seberang pusat desa.

Di samping itu juga terdapat dua buah danau, yakni Danau Amis dan Danau Beluru yang terletak di belakang desa berdekatan dengan areal persawahan. Danau berfungsi sebagai tempat mencari ikan selain sungai. Kedua danau ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai tempat budi daya ikan air tawar. Areal pemukiman membentang sepenjang Sungai Tabir. Namun sebahagian besar penduduk Batu Sawar (lebih 50%) sudah pindah ke Camp Tengah. Kondisi ini didorong oleh karena ketersediaan sumberdaya pendukung penghidupan mereka yang berada di daerah tersebut.

Tumpang tindih klaim wilayah dengan desa tetangga menjadi persoalan penting dalam pengaturan pemanfaatan ruang di Desa Batu Sawar. Seperti yang menghangat saat ini adalah saling klaim antara Desa Batu Sawar dengan Desa Tuo Ilir tentang kepemilikan tanah di seberang pusat Desa Batu Sawar. Beragam alasan dan dasar yang di kemukan oleh kedua desa sebagai justifikasi kepemilikan. Desa Batu Sawar menjadikan penataan batas yang telah dilakukan oleh BPN Propinsi sebagai alas hak atas pengakuan tanah tersebut yang dilakukan pada tahun 2000. Penataan batas tersebut sebenarnya sudah dimusyawarahkan antara tiga desa, Desa Batu Sawar, Tuo Ilir dan Paninjauan (versi Batu Sawar). Sedangkan Desa Tuo Ilir tidak mengakui patok yang telah dipasang karena tidak sesuai dengan hasil kesepakatan musyawarah yang diadakan di Desa Paninjauan. Hal ini diperparah oleh tidak adanya pelibatan perwakilan masyarakat ketika melakukan pemasangan patok. Sewaktu kondisi ini dikonfirmasikan kepada Bupati dan Kabag Pemerintahan, Bupati mengatakan bahwa tata batas kabupaten yang telah ditata itu tidak disetujuinya. Menurut data di bagian Pemerintahan Kabupaten Tebo juga masih mengakui bahwa di seberang Batu Sawar merupakan bagian dari Desa Tuo Ilir yang diberi nama Dusun Lancar Tiang II dengan Kepala Dusun Baihaki (versi Tuo Ilir). Permasalahan tata batas ini menghangat dikarenakan oleh tindakan yang dilakukan oleh kades Tuo Ilir yang melakukan reshuffle Kepala Dusun Lancar Tiang I dan II serta Ketua RT di Lancar Tiang I dan II. Kades mengangkat Tarmizi sebagai Kadus Lancar Tiang II. Sedangkan Tarmizi dulunya pernah menjabat sebagai Kades Batu Sawar. Namun karena Tarmizi saat ini tersangkut kasus penggelapan dana DPDK maka diapun membelot ke Desa Tuo Ilir.
Selain berkonflik dengan Desa Tuo Ilir, Desa Batu Sawar juga berkonflik dengan Desa Paninjauan dalam hal batas antara kedua desa. Desa Paninjauan sebagai desa induk waktu itu sebelum adanya pemekaran desa masih menganggap Batu Sawar merupakan bagian dari Desa Paninjauan. Sehingga di tingkat lapangan banyak masyarakat Paninjauan yang memiliki kebun karet dan melakukan pembukaan lahan baru di wilayah Batu Sawar. Kuat indikasi persoalan batas sengaja dikaburkan oleh masyarakat Paninjauan untuk melindung kepentingan mereka di situ, seperti areal perladangan dan potensi kayu yang berada di wilayah hulu Sungai Kejasung. Kades Batu Sawar sudah berusaha mendorong pihak kabupaten untuk melakukan penataan batas namun pihak kabupaten justru mengembalikan lagi kepada dua desa tersebut. Sedangkan ditingkat bawah, kades Batu Sawar sudah mencoba membangun kesepakatan dengan kades Paninjauan namun kades Paninjauan berkeinginan agar penataan batas itu harus dibangun bersama- sama pemuka masyarakat lainnya melalui mekanisme musyawarah antara dua desa dan tidak hanya dilevel kades saja. Sementara kades Batu Sawar tidak ingin untuk dilakukan musyawarah lagi cukup hanya di level kades. Karena menurut beliau kalau dilakukan musyawarah antara dua desa tanpa ada pelibatan pihak kabupaten maka dikhawatirkan musyawarah tersebut tidak akan mencapai titik temu. Tentu sebagai sebuah desa yang defenitif semenjak tahun 1981, Desa Batu Sawar harus memiliki wilayah dengan batas-batas yurisdiksi yang jelas seperti yang diamanatkan oleh UU No.32/2004. Pada posisi ini, pihak kabupaten punya kewajiban dan terlibat aktif dalam memfasilitasi musyawarah antara dua desa tersebut untuk menyepakati batas.

Konflik batas antar desa tidak hanya terjadi di Desa Batu Sawar, Tuo Ilir dan Paninjauan tapi hampir terjadi disebahagian besar desa penyangga TNBD. Konflik batas akan selalu menjadi konflik laten yang setiap saat akan dikhawatirkan menjadi konflik terbuka yang maha dahsyat. Konflik batas antar desa akan menjadi konflik berkepanjangan jikalau pihak pemerintah kabupaten atau pun pemerintah propinsi tidak segera melakukan penataan batas secara partisipatif dengan pelibatan aktif kedua desa yang berbatasan. Sedangkan selama ini pemerintah sebagai institusi yang mempunyai kewenangan seakan-akan tutup mata dan tidak pernah berupaya untuk menyelesaikan permasalahan ini. Apakah mereka harus menunggu konflik terbuka yang maha dahsyat itu terjadi dulu, baru bertindak ? seperti yang pernah terjadi antara Desa Tuo Ilir dan Desa Paninjauan yang telah memakan korban.

II. Studi rumah tangga dalam Pemanfaatan Lahan
Studi rumah tangga dalam pemanfaatan lahan sudah dilakukan dari bulan Februari 2007. Studi ini dilakukan dalam rangka mendapatkan gambaran tentang pola dan kecenderungan pemanfaatan lahan oleh masyarakat Batu Sawar. Latar belakang dilakukan studi ini disebabkan oleh karena Desa Batu Sawar sudah lama tidak difasilitasi (± 2 tahun) pasca konflik yang muncul antara elite desa dengan KKI Warsi. Studi ini menjadi penting seiring dengan perubahan pola mata pencaharian masyarakat yang dulu mayoritas berbalok kepada pertanian pasca penegakan hukum di bidang ilegal logging semakin kuat. Dengan meningkatnya laju pembukaan lahan maka akan meningkat pula ancaman terhadap pelestarian TNBD. Oleh karena itu harus ditemukan model dan strategi untuk mengurangi laju pembukaan lahan tersebut. Studi ini menggunakan metode wawancara langsung dengan beberapa rumah tangga responden yang dijadikan contoh/sample (10% dari rumah tangga yang ada).

Dari hasil pengolahan data didapatkan gambaran tentang pola pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat desa Batu Sawar. Terkait dengan kepemilikan lahan, sebahagian besar lahan yang diklaim sebagai hak milik responden berupa belukar/sesap dengan luasan rata-rata mencapai 26,08 Ha. Kepemilikan belukar sangat diakui keberadaanya oleh masyarakat, karena belukar merupakan bekas areal perkebunan masyarakat yang pernah dimanfaatkan dulunya tapi kemudian ditinggalkan. Biasanya belukar ditandai dengan adanya tanaman tua, seperti Petai, Jengkol, Durian dll. Pada umumnya belukar tersebut dulunya ditanami tanaman karet. Belukar dikategorikan dalam tiga kelompok besar ditinjau dari segi umur/lamanya belukar tersebut tidak digarap lagi, yakni sesap (1 – 5 thn), belukar muda (5 – 10 thn) dan belukar tua (10 – 20 thn). Rata-rata belukar yang dimiliki oleh responden tergolong dalam belukar muda (rata-rata umur 9,3 thn)

Data ini mengindikasikan bahwa masih banyak lahan-lahan yang terlantar yang belum termanfaatkan oleh masing-masing responden. Hal ini disebabkan oleh karena sebahagian besar masyarakat Batu Sawar dulunya sangat tergantung dengan hasil hutan kayu. Di samping itu, hasil pertanian (getah karet) masih dihargai sangat murah. Sehingga kebun-kebun responden tidak terawat bahkan ditinggalkan sama sekali. Namun disamping itu, sebahagian rumah tangga responden (6 rumah tangga) yang masih memiliki kebun karet produktif walaupun tanaman yang disadap saat ini tidak sesuai lagi dengan jumlah tanam batang awalnya dulu dengan tingkat pertumbuhan karet hanya mencapai 39%. Rata-rata kepemilikan kebun karet responden mencapai 4,63 Ha. Sebahagian besar responden memiliki kebun karet produktif yang masih tersisa sewaktu penanaman perdana dulu mencapai 88,94%. Rata-rata umur karet produktif responden telah mencapai 15,67 tahun sedangkan rata-rata jarak kebun karet produktif dari rumah responden 4,92 Km. Letak kebun karet responden tidak begitu jauh dari rumah responden. Kondisi ini sangat membantu dalam penyadapan dan pemasaran getah responden. Terbukti sampai saat ini pemasaran getah belum menjadi persoalan di tingakat petani karet. Keberadaan toke getah sangat membantu pemasaran getah responden. Pada umumnya toke getah berasal dari dalam desa, hanya satu orang toke yang berasal dari Paninjauan. Alasan pemilihan toke oleh renponden sangat beragam, seperti hubungan keluarga, harga tinggi dan dikarenakan oleh responden menyadap karet toke itu sendiri sehingga secara otomatis getah dijual langsung kepada pemilik kebun.

Dari segi produktifitas karet responden mencapai 64,51% dengan produksi rata-rata 156,02 Kg/bulan pada musim kering sedangkan pada musim basah hanya mencapai 35,49% dengan produksi 85,83 Kg/bulan. Tingkat produktifitas berbanding lurus dengan jumlah hari sadap, semakin sering mereka menyadap maka produksi semakin tinggi. Jumlah hari sadap pada musim hujan rata-rata mencapai 12,94 hari sedangkan jumlah hari sadap pada musim kering mencapai 23,16 hari. Pada kebun karet non pruduktif responden rata-rata umur tanaman baru mencapai 2,11 tahun, sedangkan rata-rata jarak kebun karet non produktif responden sangat jauh dari rumah responden, yakni 10,04 Km. Kecenderungan arah pembukaan kebun baru saat ini berkisar di daerah Camp Tengah. Kecenderungan ini akan membawa dampak buruk bagi kelestarian TNBD dan berpotensi menimbulkan konflik perebutan lahan antara orang desa dengan orang rimba. Kondisi ini membuat masyarakat yang membuka kebun baru tersebut harus menetap di lokasi kebun mereka. Karena jarak yang jauh tidak memungkinkan mereka untuk kembali ke rumah. Alasan pembukaan lahan yang sangat jauh dari rumah beragam, seperti tidak memiliki lahan yang dekat dari rumah/pusat desa, mata pencaharian mereka berada di lokasi tersebut dengan menyadap karet orang lain (Samsul, Basyir dll), dan ada yang mengatakan lokasi tersebut merupakan tempat perbalokan mereka.

Kecenderungan pembukaan lahan yang dilakukan oleh responden dilihat dari segi luasan mengalami penurunan dalam 3 tahun belakangan ini. Pada tahun 2004 rata-rata luasan pembukaan lahan yang dilakukan responden adalah 2,60 Ha, pada tahun 2005 mengalami penurun dengan rata-rata luasan 2,17 Ha dan menaik lagi pada tahun 2006 yang mencapai angka 1,57 Ha. Namun ditinjau dari segi jumlah responden yang melakukan pembukaan lahan dalam 3 tahun belakangan mengalami fluktuasi, 5 rumah tangga pada tahun 2004, 3 rumah tangga pada tahun 2005 dan 7 rumah tangga pada tahun 2006. Kalau dilihat dari segi asal vegetasi yang dibuka oleh responden untuk dijadikan sebagai kebun karet, sebahagian besar adalah bervegetasi hutan (66,67%) sebahagian kecil lainnya bervegetasi belukar (33,33%). Dari data ini terlihat bahwa seluruh responden tidak mengetahui bahakan tidak mengakui keberadaan kawasan Hutan Produksi. Karena kalau melihat peta ruang TNBD, wilayah Desa Batu Sawar sebahagian besar berada dalam kawasan Hutan Produksi yang saat ini dikuasai oleh PT LKU. Dari data terlihat bahwa kawasan hutan akan menjadi terancam oleh pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Karena kecenderungannya masyarakat lebih senang membuka hutan dibandingkan belukar. Hal ini dikarenakan :
1. Biaya membuka hutan lebih murah dibandingkan dengan membuka belukar, karena hanya mengeluarkan upah tebang saja tanpa mengeluarkan upah pancah.
2. Hama yang menjadi ancaman tanaman lebih berkurang dibandingkan membuka belukar.
3. Sebagai dasar klaim lahan, karena lahan yang pernah dibuka dan ditanami dengan tanaman tua kepemilikannya diakui selamanya.

Tidak ada komentar: